Minggu, 12 Agustus 2012

Single Parent.. To Be or Not To Be..

Beberapa waktu lalu saya mendapat telepon yang mengejutkan. Seorang wanita meminta saya dengan sangat mendesak untuk mengajarkan tehnik desain dan jahit yang menjadi pekerjaan saya. Awalnya saya merasa terintimidasi dengan kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Saat saya menolak secara halus dan mengatakan bahwa saya tidak memberi kursus baik privat maupun lembaga, ia mengatakan agar saya mulai berbuat amal dari sekarang supaya kelak bisa masuk surga. Ilmu itu untuk dibagi, begitu katanya waktu itu.

Benar apa yang dia bilang, namun meskipun demikian saya juga bisa memilih ilmu mana yang mau saya bagi dan mana yang saya rasa harus tetap saya simpan sendiri. Dan saya merasa kalimat itu sungguh kasar, sebab walaupun tidak mengajarkan soal menjahit, saya juga membantu orang lain dengan cara saya sendiri yang tidak perlu diketahui orang banyak.

Namun kemudian sambil memaksa dia terus bertanya yang akhirnya saya jawab sejujurnya bahwa saya ini adalah seorang single mother. Saya harus mengurusi anak-anak saya sambil mencari nafkah, saya tidak punya waktu untuk mengajar orang lain menjahit atau membiarkan dia menongkrongi workshop saya meskipun dia berani membayar mahal untuk itu. Dan tiba-tiba kata-kata itu tercetus darinya bahwa dia pun rupanya akan menjadi seorang calon single parent karena proses perceraian yang sedang dijalaninya.

What a coincidence? No! Saya tidak percaya akan kebetulan. Saya yakin ini referensi Tuhan, inilah bagian yang sesungguhnya harus saya bantu. Dan rupanya memang begitu. Akhirnya ia pun bercerita mengapa ia mendesak saya untuk mengajarinya jahit menjahit yang menjadi bisnis saya.

Wanita ini seorang profesional. Ia seorang freelancer ahli di bidang tertentu. Ketika ia bercerita tentang pekerjaannya selama ini saya terkesiap. Mengapa seorang wanita yang penghasilan freelancernya jauh lebih besar dari saya memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis yang sama sekali tidak dikuasainya? Saya menangkap bahwa ia panik. Ia mengalami shock tentang akan keluar dari rumahnya dan melepas segala fasilitas juga harta gono gini karena ia memilih hak asuh anak remajanya. Jadi jika ia memilih untuk membawa anak remaja mereka maka ia harus melepas haknya atas harta bersama yang notabene akan membuat ia dan anaknya jatuh miskin. Tidak adil, tapi hal-hal seperti ini biasanya tidak terungkap karena alasan takut mempermalukan keluarga jika sampai terjadi keributan secara hukum. 

Kami berbagi cerita dan saya meyakinkan dia untuk kembali menekuni apa yang menjadi keahliannya. Ia bilang ia bosan, jenuh. Ok, tapi itu bukan alasan untuk langsung banting setir. Karena dari apa yang saya tangkap ia memiliki karakter yang kokoh, gesit, cocok dengan bidang kerjanya tapi tidak cocok untuk bidang kerja saya. Bidang kerja saya, fashion design dan custom made dress memerlukan orang yang luwes. Orang yang dapat mengakomodir keinginan klien dan memiliki kesabaran untuk melayani pertanyaan-pertanyaan detail yang panjang. Dia tidak akan bertahan jika sisa uang modalnya dipertaruhkan untuk membuka bisnis yang sama sekali baru baginya. Meskipun sepintas kami sama-sama desainer, tidak semua desainer dapat dengan mudah beralih bidang begitu saja. 

Saya berpendapat begini karena saya mendengar ia telah mencoba mengikuti saran temannya dan menjajal bidang desain digital printing textile untuk kaos/ T-shirt yang katanya sedang naik. Lalu karena bosan dan bisnis kurang berjalan ia kesal dan menyimpan mesinnya serta membuang kunci penyimpanannya. Jenuh adalah kata yang kembali terucap. Kemudian ia membagi keresahannya tentang akan menjadi seorang single mother di usianya yang tidak muda lagi. Perasaan akan kebutuhan. Saya mengerti kepanikannya dan menyarankan agar dia tidak terlalu larut dalam perasaan itu, tapi lalu dia berkata bahwa saya bisa bilang begitu karena saya telah berhasil menstabilkan perasaan saya. Itu tidak benar. Butuh bertahun-tahun untuk saya mengembalikan keyakinan diri dan perasaan saya. Dan masih bertahun lagi untuk benar-benar stabil. Perbedaannya hanyalah saya sudah membulatkan diri dan menyiapkan tekad sejak awal saya memutuskan untuk menjadi seorang orang tua tunggal. To be or Not To be. Disitu kuncinya kedewasaan kita diuji. 

Bahkan disaat kita panik, kita tidak boleh panik. Juga meskipun kita gamang, kita tidak boleh gamang. Ada anak-anak yang akan bergantung kepada kita dan tidak ada waktu untuk panik. Ini saatnya kita harus bisa berpikir waras dan tenang. Memilih untuk membawa serta anak remajanya adalah pilihan paling benar, mungkin bukan terbaik baginya tapi paling benar untuk dilakukan. Memang itu yang paling penting apalagi sang anak pun bersedia. Soal uang bisa dicari, tapi anak tidak bisa diganti. Yakinlah Tuhan itu ada dan mau menolong. Ia menangis saat saya mengucapkan itu. Ia teringat kepada Ayahnya yang seorang Pendeta dan ia teringat pada Alkitabnya.

Itu benar, sebuah kalimat sederhana yang gamblang tapi yang orang begitu sulit menerimanya, bahwa Tuhan itu benar ada dan mau menolong kita. Tidak peduli betapa kita merasa orang berdosa, gagal atau kotor sekalipun. Sebab Tuhan itu mengenal kita sejak kita belum dilahirkan, mengenal kita dengan nama, bukan secara global tapi spesifik dengan nama kita masing-masing. Yang artinya kita bisa datang kepadaNya kapan pun kita memerlukanNya. Yang menjauh bukan DIA, tapi kita. Kita yang terlalu sombong untuk mengakui bahwa kita memerlukan pertolonganNya. Terlalu sombong untuk bersujud dan mengakui cara kita yang egois tidak berhasil. :)

Setelah percakapan yang cukup lama, kami mengakhiri obrolan curhat ini dan ia merasa lebih lega karena dapat membagi keresahannya dan mendapat penguatan hati. Dari percakapan dengannya saya juga mendapatkan masukan pemikiran yang berguna bagi kehidupan keluarga saya sendiri. Saya yakin dimanapun ia berada sekarang, wanita itu akan dapat mengatasi masalahnya dengan baik. Saya hanya merasa saya harus membagi kisah ini agar para pembaca yang mungkin mengalami hal yang serupa namun tak punya orang untuk berbagi mengetahui bahwa apa yang mereka rasakan juga dirasakan banyak orang lainnya. So you are not alone, like Michael Jackson said :)

Menjadi seorang single parent memerlukan keteguhan hati. Cobaan dan godaan untuk menyerah sudah pasti banyak. Namun sekali lagi saya ingatkan, To Be or Not To Be adalah pilihannya. Jalani apa yang menurut kata hati kalian benar untuk dilakukan. God bless you all!

"Original blog posting and written by adhinatalia"
search me on any social media using my name
-adhinatalia-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klo menurut teman2 bagaimana? Silakan komen2nya..